Minggu, 16 November 2014

Tri Indah Annisa




LAPORAN TUGAS HINDUISME
KUNJUNGAN ADITHYA JAYA RAWAMANGUN PURA


DOSEN PEMBIMBING
Dr. Syaiful Azmi, MA

DISUSUN OLEH
TRI INDAH ANNISA (1113032100039)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
PERBANDINGAN AGAMA (A)
SEMESTER 3
2014




A.    PENDAHULUAN
Kunjungan kali ini yaitu mendatangi Adithya Jaya Rawamangun Pura yang mana pertempat di Jakarta Timur yang berdekatan dengan Universitas Negeri Jakarta. Yang mana sesungguhnya menbagun Pura tempat suci Umat Hindu dengan peruh perjuangan yang mana akhirnya dibangunnya berhasil di Rawamangun ini.
Kunjungan kali ini penuh hikmat karena disambut baik oleh pengurus Pura. Dengan sambutan yang baik dengan sikap penuh toleransi tanpa adanya perbedaan agama diantara kita. Dengan penuh keingintahuan kita mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  jurusan Perbandingan Agama kita ingin mengetahui lebih jauh apa itu Pura?, konsep Karma Pala dalam ajaran Hindu? Dan konsep Reingkarnasi dan Moska dalam agama Hindu?.
Dengan bekal keingintahuan kita maka para bapak pura ataupun Blih-Blih memaparkan kepada kita semua ajaran mereka. Dan dengan senang hati dan antusiasn kita merasa ingin tahu dan menghormati dan mengagumi atas keyakinan mereka dan kepercayaan mereka oleh agama mereka yang mereka anut.
Dengan itu saya penulis memaparkan sebagai berikut permbahasan yang di bahas oreng kunjungan tersebut dalam ilmu yang kami pahami dan kami dapat sebagai berikut.


B.     Tempat Ibadah Umat Hindu
Tempat ibadah umat Hindu biasa disebut tempat suci sebagaimana setiap umat beragama mensucikan rumah ibadah mereka.sedangkan rumah ibadah ataupun tempat suci umat Hindu yaitu Pura. Pura atau kahyangan dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci. Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai yang di Bali disebut Campuhan, sedang di India disebut dengan nama Saògam yang mengandung makna sama, yakni bertemunya dua sungai atau lebih. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Dengan memperhatikan kutipan di atas, maka tiada halangan untuk membangun sebuah pura atau kahyangan di mana saja di tempat-tempat yang dipandang suci. Ada suatu yang unik, yakni tempat yang dipandang indah dan memiliki getaran spiritual yang tinggi adalah tempat yang disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri‘ atau ‘sagara-giri adomukha‘, tempat bila di tepi pantai terlihat puncak-pucak gunung yang indah, sebaliknya bila berdiri di pegunungan, tampak pantai-pantai dengan gulung-gemulungnya ombak yang memukau.

A.    Pengertian Pura (tempat suci umat Hindu)
Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono (1974: 242) pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni seniman sorga, dan lain-lain.


Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan ini.
(Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì sampai kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuno dan merupakan data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).
B.     Hukum Karma Pala Dalam Ajaran Agama Hindu
Dalam kitab suci Bradh Aranyaka Upanisad di katakana : Hukum diartikan sama dengan “ kebenaran “.
Hukum adalah ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan yang harus diatasi oleh sekelompok manusia, serta memberikan hukuman /ancaman terhadap seseorang yang melanggarnya baik itu berupa hukuman denda baik itu disebut orang dursila (penghianatan) oleh kelompok orang – orang tertentu di dalam masyarakat.
Karma berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Kr” yang berarti membuat atau berbuat, maka dapat disimpulkan bahwa karmapala berarti Perbuatan atau tingkah laku.
Phala yang berarti buah atau hasil.
Maka dapat disimpulkan Hukum Karma Phala berarti : Suatu peraturan atau hukuman dari hasil dalam suatu perbuatan.
Salah satu dari Panca Srada ( Enam Kepercayaan Agama Hindu) di antaranya adalah hokum karma phala dimana hukum karma phala ini merupakan filsafat yang yang mengandung etika yang artinya Bahwa Umat Agama Hindu percaya akan hasil dalam suatu perbuatan. Dalam Sarasamuscaya seloka 17 disebutkan :
“Segala orang, baik golongan rendah, menengah, atau tinggi, selama kerja menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah sgala yang diusahakan akan memperolehnya.”
Hukum Karma Phala adalah hukum sebab – akibat, Hukum aksi reaksi, hukum usahan dan hasil atau nasib. Hukum ini berlaku untuk alam semesta, binatang, tumbuh – tumbuhan dan manusia. Jika hukum itu ditunjukan kepada manusia maka di sebut dengan hukum karma dan jika kepada alam semesta disebut hukum Rta . Hukum inilah yang mengatur kelangsungan hidup, gerak serta perputaran alam semesta.
# Ada tiga jenis karma yaitu :
  • Prarabda karma yaitu perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang dan diterima dalam hidup sekarang juga.
  • Kriyamana karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka.
  • Sancita karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang hasilnya akan di peroleh pada kelahiran yang akan datang.
# Sifat – Sifat Hukum Karama :
  • Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami pralaya (kiamat).
  • Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.
  • Hukum karma berlaku sejak jaman pertama penciptaan, jaman sekarang, jaman yang akan dating.
  • Hukum karma itu sangat sempurna, adil, tidak, ada yang dapat menghindarinya.
  • Hukum karma tidak ada pengecualuan terhadap suapapun, bahkan bagi Sri Rama yang sebagai titisan Wisnu tidak mau merubah adanya keberadaan hokum karma itu.
Dari kesemua itu setiap perbuatan seseorang itu akan mendapatkan akibat dari sebab yang dia lakukan baik ataupun buruk. Yang mana  perbuatannya itu tertanam dari sifat tama rajas dan lain sebagainya. Yang mana tercampur oleh prakerti seseorang.
Ketika perbuatannya itu belum mendapat hasilnya, maka jiwanya itu mengalami REINGKARNASI untuk dia mendapatkan Moska yang mana bersatunya Atman dengan Brahman.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda