Tri Indah Annisa
LAPORAN
TUGAS HINDUISME
KUNJUNGAN
ADITHYA JAYA RAWAMANGUN PURA
DOSEN PEMBIMBING
Dr. Syaiful Azmi, MA
DISUSUN OLEH
TRI
INDAH ANNISA (1113032100039)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
PERBANDINGAN AGAMA (A)
SEMESTER 3
2014
A. PENDAHULUAN
Kunjungan
kali ini yaitu mendatangi Adithya Jaya Rawamangun Pura yang mana pertempat di
Jakarta Timur yang berdekatan dengan Universitas Negeri Jakarta. Yang mana
sesungguhnya menbagun Pura tempat suci Umat Hindu dengan peruh perjuangan yang
mana akhirnya dibangunnya berhasil di Rawamangun ini.
Kunjungan kali ini
penuh hikmat karena disambut baik oleh pengurus Pura. Dengan sambutan yang baik
dengan sikap penuh toleransi tanpa adanya perbedaan agama diantara kita. Dengan
penuh keingintahuan kita mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama kita ingin
mengetahui lebih jauh apa itu Pura?, konsep Karma Pala dalam ajaran Hindu? Dan
konsep Reingkarnasi dan Moska dalam agama Hindu?.
Dengan bekal
keingintahuan kita maka para bapak pura ataupun Blih-Blih memaparkan kepada
kita semua ajaran mereka. Dan dengan senang hati dan antusiasn kita merasa
ingin tahu dan menghormati dan mengagumi atas keyakinan mereka dan kepercayaan
mereka oleh agama mereka yang mereka anut.
Dengan itu saya penulis
memaparkan sebagai berikut permbahasan yang di bahas oreng kunjungan tersebut
dalam ilmu yang kami pahami dan kami dapat sebagai berikut.
B. Tempat
Ibadah Umat Hindu
Tempat ibadah umat Hindu biasa disebut tempat suci
sebagaimana setiap umat beragama mensucikan rumah ibadah mereka.sedangkan rumah
ibadah ataupun tempat suci umat Hindu yaitu Pura. Pura atau kahyangan dibangun di tempat-tempat yang dianggap
suci. Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari tulisan
ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai,
tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai yang di Bali
disebut Campuhan, sedang di India disebut dengan nama Saògam yang mengandung
makna sama, yakni bertemunya dua sungai atau lebih. Di muara sungai, di
puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat
pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat
lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Dengan memperhatikan kutipan di
atas, maka tiada halangan untuk membangun sebuah pura atau kahyangan di mana
saja di tempat-tempat yang dipandang suci. Ada suatu yang unik, yakni tempat
yang dipandang indah dan memiliki getaran spiritual yang tinggi adalah tempat
yang disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri‘ atau ‘sagara-giri
adomukha‘, tempat bila di tepi pantai terlihat puncak-pucak gunung yang
indah, sebaliknya bila berdiri di pegunungan, tampak pantai-pantai dengan
gulung-gemulungnya ombak yang memukau.
A. Pengertian Pura (tempat suci umat
Hindu)
Pura seperti halnya meru atau candi
(dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari
kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono
(1974: 242) pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi
bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan
candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara
sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya
yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar
garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya
telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di
Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan
sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat
berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat
dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau
candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar,
relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca
devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga
mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni
seniman sorga, dan lain-lain.
Sorga atau kahyangan digambarkan
berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura
merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun
tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan
ini.
(Pura dibangun untuk memohon
kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala
Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì sampai
kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang
Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)
Istilah pura dengan pengertian
sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya
berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah
arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura
untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan
atau hyang. Pada jaman Bali Kuno dan merupakan data tertua ditemui di
Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).
B.
Hukum
Karma Pala Dalam Ajaran Agama Hindu
Dalam kitab suci Bradh Aranyaka
Upanisad di katakana : Hukum diartikan sama dengan “ kebenaran “.
Hukum
adalah ketentuan – ketentuan atau peraturan – peraturan yang harus diatasi oleh
sekelompok manusia, serta memberikan hukuman /ancaman terhadap seseorang yang
melanggarnya baik itu berupa hukuman denda baik itu disebut orang dursila
(penghianatan) oleh kelompok orang – orang tertentu di dalam masyarakat.
Karma berasal
dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Kr” yang berarti membuat atau berbuat,
maka dapat disimpulkan bahwa karmapala berarti Perbuatan atau tingkah laku.
Phala
yang berarti buah atau hasil.
Maka dapat disimpulkan Hukum Karma Phala berarti : Suatu
peraturan atau hukuman dari hasil dalam suatu perbuatan.
Salah satu dari Panca Srada ( Enam Kepercayaan Agama Hindu)
di antaranya adalah hokum karma phala dimana hukum karma phala ini merupakan
filsafat yang yang mengandung etika yang artinya Bahwa Umat Agama Hindu percaya
akan hasil dalam suatu perbuatan. Dalam Sarasamuscaya seloka 17 disebutkan :
“Segala orang, baik golongan rendah, menengah, atau tinggi,
selama kerja menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah sgala yang
diusahakan akan memperolehnya.”
Hukum Karma Phala adalah hukum sebab – akibat, Hukum aksi
reaksi, hukum usahan dan hasil atau nasib. Hukum ini berlaku untuk alam
semesta, binatang, tumbuh – tumbuhan dan manusia. Jika hukum itu ditunjukan
kepada manusia maka di sebut dengan hukum karma dan jika kepada alam semesta
disebut hukum Rta . Hukum inilah yang mengatur kelangsungan hidup, gerak serta
perputaran alam semesta.
# Ada tiga jenis karma yaitu :
- Prarabda karma yaitu perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang dan diterima dalam hidup sekarang juga.
- Kriyamana karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka.
- Sancita karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang hasilnya akan di peroleh pada kelahiran yang akan datang.
# Sifat – Sifat Hukum Karama :
- Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami pralaya (kiamat).
- Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.
- Hukum karma berlaku sejak jaman pertama penciptaan, jaman sekarang, jaman yang akan dating.
- Hukum karma itu sangat sempurna, adil, tidak, ada yang dapat menghindarinya.
- Hukum karma tidak ada pengecualuan terhadap suapapun, bahkan bagi Sri Rama yang sebagai titisan Wisnu tidak mau merubah adanya keberadaan hokum karma itu.
Dari kesemua itu setiap perbuatan
seseorang itu akan mendapatkan akibat dari sebab yang dia lakukan baik ataupun
buruk. Yang mana perbuatannya itu
tertanam dari sifat tama rajas dan lain sebagainya. Yang mana tercampur oleh
prakerti seseorang.
Ketika perbuatannya itu belum
mendapat hasilnya, maka jiwanya itu mengalami REINGKARNASI untuk dia
mendapatkan Moska yang mana bersatunya Atman dengan Brahman.

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda