Ricky Andriansyah
LAPORAN KUNJUNGAN
PURA ADITYA JAYA RAMAWANGUN
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHUI TUGAS MATA KULIAH
HINDUISME
Dosen Pembimbing: Saiful Azmi, M.A
Nama:
Ricky Adriansyah (11130321000032)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
PENDAHULUAN
Kunjungan kali ini
yaitu mendatangi Adithya Jaya Rawamangun Pura yang mana pertempat di Jakarta
Timur yang berdekatan dengan Universitas Negeri Jakarta. Yang mana sesungguhnya
menbagun Pura tempat suci Umat Hindu dengan peruh perjuangan yang mana akhirnya
dibangunnya berhasil di Rawamangun ini.
Kunjungan kali ini
penuh hikmat karena disambut baik oleh pengurus Pura. Dengan sambutan yang baik
dengan sikap penuh toleransi tanpa adanya perbedaan agama diantara kita. Dengan
penuh keingintahuan kita mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama kita ingin
mengetahui lebih jauh apa itu Pura?, konsep Karma Pala dalam ajaran Hindu? Dan
konsep Reingkarnasi dan Moska dalam agama Hindu?.
Dengan bekal
keingintahuan kita maka para bapak pura ataupun Blih-Blih memaparkan kepada
kita semua ajaran mereka. Dan dengan senang hati dan antusiasn kita merasa
ingin tahu dan menghormati dan mengagumi atas keyakinan mereka dan kepercayaan
mereka oleh agama mereka yang mereka anut.
Dengan itu saya penulis memaparkan
sebagai berikut permbahasan yang di bahas oreng kunjungan tersebut dalam ilmu
yang kami pahami dan kami dapat sebagai berikut.
A. Pengertian Pura (tempat suci umat
Hindu)
Pura seperti halnya meru atau candi
(dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari
kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono
(1974: 242) pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi
bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan
candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara
sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya
yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar
garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya
telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di
Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan
sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat
berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat
dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau
candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar,
relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca
devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga
mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni
seniman sorga, dan lain-lain.
Sorga atau kahyangan digambarkan
berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura
merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun
tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan
ini.
(Pura dibangun untuk memohon
kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala
Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì sampai
kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang
Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)
Istilah pura dengan pengertian
sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya
berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang
berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah
arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura
untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan
atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua ditemui di
Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).
Dengan
demikian maka “karma phala” itu dapat digolongkan menjadi tiga macam sesuai
dengan saat dan kesempatan untuk dinikmati yaitu:
1. Sancita karma phala:
Ialah phala hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu
yang menentukan kehidupan sekkarang. Maksudnya yaitu : bila karma (perbuatan
kita pada kehidupan yang terdahulu baik maka kehidupan kita sekarang akan baik
pula; senang, sejahtera, bahagia ). Dan sebaliknya bila kehidupan kita
sebaliknya terdahulu maka kehidupan kita sekarang inipun akan buruk (selalu
menderita sengsar, susah dan sebagainya).
2. Prarabda karma phala:
Ialah phala dari perbuatan kita pada kehidupan tanpa ada
sisanya lagi. Maksudnya ialah : karma perbuatan yang segera mendatangkan hasil.
Sekarang berbuat baik atau buruk pada pihak lain seketika itu atau pada masa
hidup ini akan menerima hasilnya baik atau hasil buruk sesuai dengan karma yang
dilakukan.
3. Kriyamana karma phala:
Ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada
saatnya berbuat sehingga harus diterima pada kehidupanan yang akan datang.
Tegasnya cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti segala phala
dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum.
Sifat – Sifat Hukum Karama :
- Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami pralaya (kiamat).
- Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda