Minggu, 30 November 2014

Ricky Andriansyah



LAPORAN KUNJUNGAN

PURA ADITYA JAYA RAMAWANGUN
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHUI TUGAS MATA KULIAH HINDUISME

Dosen Pembimbing: Saiful Azmi, M.A

 

Nama:
Ricky Adriansyah (11130321000032)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
  

PENDAHULUAN
Kunjungan kali ini yaitu mendatangi Adithya Jaya Rawamangun Pura yang mana pertempat di Jakarta Timur yang berdekatan dengan Universitas Negeri Jakarta. Yang mana sesungguhnya menbagun Pura tempat suci Umat Hindu dengan peruh perjuangan yang mana akhirnya dibangunnya berhasil di Rawamangun ini.
Kunjungan kali ini penuh hikmat karena disambut baik oleh pengurus Pura. Dengan sambutan yang baik dengan sikap penuh toleransi tanpa adanya perbedaan agama diantara kita. Dengan penuh keingintahuan kita mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  jurusan Perbandingan Agama kita ingin mengetahui lebih jauh apa itu Pura?, konsep Karma Pala dalam ajaran Hindu? Dan konsep Reingkarnasi dan Moska dalam agama Hindu?.
Dengan bekal keingintahuan kita maka para bapak pura ataupun Blih-Blih memaparkan kepada kita semua ajaran mereka. Dan dengan senang hati dan antusiasn kita merasa ingin tahu dan menghormati dan mengagumi atas keyakinan mereka dan kepercayaan mereka oleh agama mereka yang mereka anut.
Dengan itu saya penulis memaparkan sebagai berikut permbahasan yang di bahas oreng kunjungan tersebut dalam ilmu yang kami pahami dan kami dapat sebagai berikut.
 
A.    Pengertian Pura (tempat suci umat Hindu)
Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono (1974: 242) pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni seniman sorga, dan lain-lain.


Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan ini.
(Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Menifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì sampai kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).
Dengan demikian maka “karma phala” itu dapat digolongkan menjadi tiga macam sesuai dengan saat dan kesempatan untuk dinikmati yaitu:

1.  Sancita karma phala:
Ialah phala hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang menentukan kehidupan sekkarang. Maksudnya yaitu : bila karma (perbuatan kita pada kehidupan yang terdahulu baik maka kehidupan kita sekarang akan baik pula; senang, sejahtera, bahagia ). Dan sebaliknya bila kehidupan kita sebaliknya terdahulu maka kehidupan kita sekarang inipun akan buruk (selalu menderita sengsar, susah dan sebagainya).
2. Prarabda karma phala:
Ialah phala dari perbuatan kita pada kehidupan tanpa ada sisanya lagi. Maksudnya ialah : karma perbuatan yang segera mendatangkan hasil. Sekarang berbuat baik atau buruk pada pihak lain seketika itu atau pada masa hidup ini akan menerima hasilnya baik atau hasil buruk sesuai dengan karma yang dilakukan.

3. Kriyamana karma phala:
Ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saatnya berbuat sehingga harus diterima pada kehidupanan yang akan datang. Tegasnya cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti segala phala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum.
 Sifat – Sifat Hukum Karama :
  • Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami pralaya (kiamat).
  • Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda