habib al rahman
LAPORAN
KUNJUNGAN
PURA ADITYA JAYA
Diajukan
Sebagai Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hinduisme
Dosen Pembimbing :
Syaiful Azmi, M.A.
Disusun Oleh :
Habib Al Rahman 1113032100011
Semester
III
Jurusan
perbandingan agama (A)
Fakultas
ushuluddin
Uin
syarifhidayatullah jakarta
2014
Pada tanggal 3 bulan november tahun 2014
jurusan perbandingan agama uin syarif hidayatullah jakarta semester tiga mengadakan acara kunjungan ke pura aditya
jaya yang berada di daerah rawamangun dalam hal kegiatan yaitu untuk mengenal
dan mempelajarai agama hindu lebih dalam dan mengetahui tempat-tempat suci
dalam agama hindu secara lebih real. Adapun beberapa penjelasan mengenai pura
aditya jaya, dimulai dari sejarah pembangunan pura aditya jaya dan pengenalan
mengenai tempat-tempat yang berada di pura, juga membahas mengenai materi ukum
karma phala dalam Agama Hindu.
1. Sejarah
Pembangunan Pure Aditya Jaya
Sejarah didirikanya Pura Aditya Jaya
Rawamangun, tidak lepas dari sejarah perjuangan umat Hindu di DKI Jakarta oleh
‘Suka Duka Hindu Bali (SDHB)’. Kemudian ganti nama menjadi ‘Suka Duka Hindu
Dharma (SDHD)’ atas saran IB Mastra, Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Menyusul
cita-cita pendirian Pura yang dipertajam dengan mendirikan Yayasan ‘Pitha Maha’
dibawah pimpinan Ida Bagus Manuaba, anggota Dewan Konstituante, I Gusti
Subania, Menteri Koordinator, I Nyoman Wiratha, anggota DPRD DKI Jakarta.
Presiden pertama RI, Ir Soekarno, yang akrab disebut Bung Karno, menyambut baik gagasan membangun Pura, bagi umat Hindu di Jakarta. Oleh karenanya Bung Karno, pada 1960-an menawarkan tanah di Lapangan Banteng kepada umat Hindu untuk beribadah. Tetapi entah apa pasalnya, rencana pembangunan Pura Hindu di lapangan Banteng batal. Berlanjut tahun 1962-an kembali ditawarkan lokasi baru di Ancol. Namun umat Hindu keberatan, sebab lokasi tersebut pada masa itu berlumpur, berbau anyir. Berbeda dengan keadaan Ancol masa kini dengan Ancol masa lalu. Terutama setelah Ancol disulap oleh pemilik modal dijadikan lahan komersil taman hiburan.
Buah kemenangan saat umat Hindu Jakarta berharap cemas menunggu batas waktu kapan secepatnya memperoleh lokasi yang tepat untuk membangun ‘Pura’ di Jakarta. Tanpa diketahui lebih dulu, Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum, dijaman pemerintahan Bung Karno, menawarkan lokasi baru yang memungkinkan untuk membangun ‘Pura’. Pak Menteri dipandang sebagai sosok pejabat negara yang waktu itu dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Lokasi tersebut berada diwilayah Jakarta Timur. Tepatnya dijalan Rawamangun Muka No. 10, tak jauh dari lapangan Golf Rawamangun, Jakarta Timur.
Dibarengi ucapan rasa syukur kepada Tuhan, Yayasan ‘Pitha Maha’ dan seluruh umat Hindu di Jakarta. Lokasi tersebut sangat tepat untuk pembangunan ‘Pura’ yang kini bediri megah. Indah dan menyenangkan. Dinamai ‘Pura Aditya Jaya’ Penggunaan lokasi tersebut dikuatkan oleh Ir. Sutami, yang menerbitkan surat No. 36/KPTS/1976 yang memberi izin untuk menggunakan tanah yang dikuasai Dept. PU cq Ditjen Bina Marga (yaitu tempat Pura Aditya Jaya sekarang, sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya. Pemberian izin oleh Menteri PU didukung oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang bijaksana dan berwawasan luas didalam membangun kota Jakarta menjadi Kota Metropolitan.
Pura Aditya Jaya dibangun dalam tujuh tahapan. Pertama dimulai tahun 1972 dan tahap akhir dilakukan tahun 1997. Areal Pura Aditya boleh dibilang cukup luas. Disitu terdapat sejumlah bangunan dan ornament bergaya khas Bali. Suasana Pura juga mirip taman hijau yang terlindung dari sengatan panas matahari karena lebatnya pepohonan rindang disekeliling areal. Masyarakat pemeluk agama Hindu bersyukur kepada Tuhan, kepada Bung Karno dan beberapa pejabat teras lainnya karena harapan dibangunnya Pura di Jakarta terpenuhi. Terlebih Pura besar itu berada di Jakarta atau Ibukota Negara Indonesia. Pura Aditya Jaya tak hanya digunakan untuk melakukan ritual keagama umat Hindu. Melainkan juga masyarakat umum yang ingin menikmati keheningan dan kedamaian hati didalam sebuah candi ditengah hangar bingarnya kehidupan keras di Kota Metropolitan Jakarta yang dulu pernah dijuluki ‘Kampung terbesar didunia’.
Presiden pertama RI, Ir Soekarno, yang akrab disebut Bung Karno, menyambut baik gagasan membangun Pura, bagi umat Hindu di Jakarta. Oleh karenanya Bung Karno, pada 1960-an menawarkan tanah di Lapangan Banteng kepada umat Hindu untuk beribadah. Tetapi entah apa pasalnya, rencana pembangunan Pura Hindu di lapangan Banteng batal. Berlanjut tahun 1962-an kembali ditawarkan lokasi baru di Ancol. Namun umat Hindu keberatan, sebab lokasi tersebut pada masa itu berlumpur, berbau anyir. Berbeda dengan keadaan Ancol masa kini dengan Ancol masa lalu. Terutama setelah Ancol disulap oleh pemilik modal dijadikan lahan komersil taman hiburan.
Buah kemenangan saat umat Hindu Jakarta berharap cemas menunggu batas waktu kapan secepatnya memperoleh lokasi yang tepat untuk membangun ‘Pura’ di Jakarta. Tanpa diketahui lebih dulu, Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum, dijaman pemerintahan Bung Karno, menawarkan lokasi baru yang memungkinkan untuk membangun ‘Pura’. Pak Menteri dipandang sebagai sosok pejabat negara yang waktu itu dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Lokasi tersebut berada diwilayah Jakarta Timur. Tepatnya dijalan Rawamangun Muka No. 10, tak jauh dari lapangan Golf Rawamangun, Jakarta Timur.
Dibarengi ucapan rasa syukur kepada Tuhan, Yayasan ‘Pitha Maha’ dan seluruh umat Hindu di Jakarta. Lokasi tersebut sangat tepat untuk pembangunan ‘Pura’ yang kini bediri megah. Indah dan menyenangkan. Dinamai ‘Pura Aditya Jaya’ Penggunaan lokasi tersebut dikuatkan oleh Ir. Sutami, yang menerbitkan surat No. 36/KPTS/1976 yang memberi izin untuk menggunakan tanah yang dikuasai Dept. PU cq Ditjen Bina Marga (yaitu tempat Pura Aditya Jaya sekarang, sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya. Pemberian izin oleh Menteri PU didukung oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang bijaksana dan berwawasan luas didalam membangun kota Jakarta menjadi Kota Metropolitan.
Pura Aditya Jaya dibangun dalam tujuh tahapan. Pertama dimulai tahun 1972 dan tahap akhir dilakukan tahun 1997. Areal Pura Aditya boleh dibilang cukup luas. Disitu terdapat sejumlah bangunan dan ornament bergaya khas Bali. Suasana Pura juga mirip taman hijau yang terlindung dari sengatan panas matahari karena lebatnya pepohonan rindang disekeliling areal. Masyarakat pemeluk agama Hindu bersyukur kepada Tuhan, kepada Bung Karno dan beberapa pejabat teras lainnya karena harapan dibangunnya Pura di Jakarta terpenuhi. Terlebih Pura besar itu berada di Jakarta atau Ibukota Negara Indonesia. Pura Aditya Jaya tak hanya digunakan untuk melakukan ritual keagama umat Hindu. Melainkan juga masyarakat umum yang ingin menikmati keheningan dan kedamaian hati didalam sebuah candi ditengah hangar bingarnya kehidupan keras di Kota Metropolitan Jakarta yang dulu pernah dijuluki ‘Kampung terbesar didunia’.
2. Pengenalan
Tempat-Tempat Di Pura Aditya Jaya
Pura
Aditya Jaya adalah sebuah pura Hindu yang lokasinya berada di daerah
Rawamangun, Jakarta. Rasa ingin tahu kadang membunuh, namun ia juga menumbuhkan
dan membawa pencerahan. Adalah rasa ingin tahu yang mengganggu pikir setiap
kali melewati By Pass, saat melihat sebuah bangunan dengan dinding bergaya Bali
di pojok jalan.
Akses ke Pura Aditya Jaya adalah
melalui Jl. Daksinapati Raya, Rawamangun muka (Golf). Lokasi Pura Aditya Jaya tepatnya
berada di Jl. Daksinapati Raya No. 10, Rawamangun, Jakarta 13220. Gambar di
atas adalah pintu gapura untuk memasuki bagian dalam Pura Aditya Jaya, dilihat
dari tempat parkir yang arealnya mampu menampung cukup banyak kendaraan roda
empat. Areal parkir ini terhubung dengan Jl. By Pass melalui sebuah pintu
gerbang lagi. Kedua pintu gerbang ini hampir selalu tertutup, kecuali
barangkali ketika ada upacara keagamaan yang besar. Gapura yang memisahkan
wilayah bagian luar dan wilayah bagian tengah Pura, yang terlihat pada gambar
di atas, disebut Candi Bentar. Terdapat dua Candi Bentar di Pura Aditya
Jaya ini, dimana yang satunya lagi berada di pintu masuk sebelah
timur.
Pemandangan Pura Aditya Jaya
ketika terlihat memasuki wilayah Candi dari arah Timur, atau dari Jl.
Daksinapati Raya
Wilayah bagian luar Pura Aditya
Jaya yang disebut sabagai Nista Mandala atau Jaba Sisi, dimana terdapat Rumah
Tunggu, toko buku yang menjual buku-buku tentang ajaran agama Hindu, kantin
yang cukup menyenangkan, Bale Gede dan dapur. Sebuah pohon beringin besar yang
rindang memberi perlindungan yang nyaman bagi para pengunjung Pura Aditya Jaya.
Gerbang masuk Pura Aditya Jaya
yang menghubungkan wilayah tengah dan wilayah utama Pura. Gapura itu, yang
dinamai Kori Agung, memiliki satu pintu utama di tengah dan dua pintu tambahan,
masing-masing di sebelah kiri dan kanan. Wilayah tengah Pura Aditya Jaya, yang
disebut Madya Mandala atau Jaba Tengah, berisikan bangunan bernama dan Balai
Wantilan, yang dipergunakan untuk mempersiapkan upakara, atau perlengkapan yang
diperlukan dalam melaksanakan upacara ritual, atauPujawali. Bangsal Wantilan
Pura Aditya Jaya juga dipergunakan sebagai panggung tempat dipentaskannya
tarian-tarian sakral.
Candi terbesar yang berada di
dalam wilayah utama Pura Aditya Jaya yang juga disebut Utama Mandala.
Seorang ibu muda dan anaknya
terlihat tengah khusuk berdoa di area terbuka di dalam wilayah Utama Mandala
Pura Aditya Jaya
Salah satu Arca Dewa yang ada di
dalamPura Aditya Jaya, berada jauh di dalam wilayah utama, persis di belakang
candi yang lebih kecil yang terletak di sayap sebelah kanan.
Pura Aditya Jaya dibangun dalam
tujuh tahapan, dimana tahap pertama dimulai pada tahun 1972, dan tahap terakhir
dilakukan pada tahun 1997. Wilayah Pura Aditya Jaya ini cukup luas, diisi
dengan bangunan-bangunan dan ornamen bergaya khas Bali, dan terlindung dari
panasnya kota Jakarta oleh pohon-pohon besar yang rindang di sekeliling
kompleks.
Tentu saja sangat menggembirakan
bahwa masyarakat yang beragama Hindu memiliki Pura besar di Jakarta ini, tidak
saja bisa mereka pergunakan untuk melakukan ritual keagamaan, namun baik juga
untuk masyarakat umum yang ingin menikmati keheningan dan kedamaian hati di
dalam sebuah candi di tengah hingar bingarnya lalu lintas dan kehidupan yang
keras di kota metropolitan ini.
3. Hukum Karma Pala Dalam Ajaran
Agama Hindu
Dalam kitab suci Bradh Aranyaka
Upanisad di katakana : Hukum diartikan sama dengan “ kebenaran “.
Hukum adalah ketentuan – ketentuan
atau peraturan – peraturan yang harus diatasi oleh sekelompok manusia, serta
memberikan hukuman /ancaman terhadap seseorang yang melanggarnya baik itu
berupa hukuman denda baik itu disebut orang dursila (penghianatan) oleh
kelompok orang – orang tertentu di dalam masyarakat.
Karma berasal dari bahasa Sansekerta
dari urat kata “Kr” yang berarti membuat atau berbuat, maka dapat disimpulkan
bahwa karmapala berarti Perbuatan atau tingkah laku.
Phala yang berarti buah atau hasil.
Maka dapat disimpulkan Hukum Karma Phala berarti :
Suatu peraturan atau hukuman dari hasil dalam suatu perbuatan.
Salah satu dari Panca Srada ( Enam Kepercayaan Agama
Hindu) di antaranya adalah hokum karma phala dimana hukum karma phala ini
merupakan filsafat yang yang mengandung etika yang artinya Bahwa Umat Agama
Hindu percaya akan hasil dalam suatu perbuatan. Dalam Sarasamuscaya seloka 17
disebutkan :
“Segala orang, baik golongan rendah,
menengah, atau tinggi, selama kerja menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah
sgala yang diusahakan akan memperolehnya.”
Hukum Karma Phala adalah hukum sebab
– akibat, Hukum aksi reaksi, hukum usahan dan hasil atau nasib. Hukum ini
berlaku untuk alam semesta, binatang, tumbuh – tumbuhan dan manusia. Jika hukum
itu ditunjukan kepada manusia maka di sebut dengan hukum karma dan jika kepada
alam semesta disebut hukum Rta . Hukum inilah yang mengatur kelangsungan hidup,
gerak serta perputaran alam semesta.
Dalam Kekawin Ramayana Sargah 1 bait nomor 4 :
“Nafsu dan lain sebagainya (Sad Ripu) adalah musuh
yang terdekat, di dalam hati letaknya tidak jauh dari badan, Hal itu tidak ada
pada Bliau, hanya keberanian dan kebijaksanaan serta pengetahuan politik yang
beliau miliki”.
“Apa yang kamu tanam maka itulah
yang akan kamu tuai”, Sesungguhnya tafsiran tersebut tidak sepenuhnya betul.
Didalam Agama Hindu perhitungan karma itu tidak di dasarkan pada pisik, karena
semua yang bersifat pisik merupakan bersifat Maya. Misalkan Orang sedih dia
menangis, orang tertawa juga menangis, mengeluarkan air mata yang sama dari
mata yang sama, tetapi perasaan yang terkandung di dalam hatinya berbeda. Hukum
Karma mengatakan bahwa semua pikiran, perkataan, dan perkataan yang tidak baik
melahirkan penderitaan.
# Ada tiga jenis karma yaitu :
- Prarabda karma yaitu perbuatan yang dilakukan
pada waktu hidup sekarang dan diterima dalam hidup sekarang juga.
- Kriyamana karma yaitu perbuatan yang dilakukan
sekarang di dunia ini tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam
baka.
- Sancita karma yaitu perbuatan yang dilakukan
sekarang hasilnya akan di peroleh pada kelahiran yang akan dating.
# Sifat – Sifat Hukum Karama :
- Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah
ada sejak mulai penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam
semesta ini mengalami pralaya (kiamat).
- Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku
bukan untuk manusia tetapi juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.
- Hukum karma berlaku sejak jaman pertama
penciptaan, jaman sekarang, jaman yang akan dating.
- Hukum karma itu sangat sempurna, adil, tidak, ada
yang dapat menghindarinya.
- Hukum karma tidak ada pengecualuan terhadap
suapapun, bahkan bagi Sri Rama yang sebagai titisan Wisnu tidak mau
merubah adanya keberadaan hokum karma itu.


0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda